Sabtu, 11 September 2010

TERNAK CACING DI LIPUTAN 6 SCTV

cacing merah

Liputan6.com, Bandung: Tak banyak terdengar masyarakat yang membudidayakan cacing tanah merah (Lumbricus rubellus). Ternyata, hewan tak bertulang belakang ini bisa jadi komoditas yang menguntungkan. Tengok saja bisnis yang dilakoni Komarudin Sabarudin. Pria asal Bandung, Jawa Barat, ini jeli menangkap peluang usaha hingga mampu mengekspor cacing tanah merah ke mancanegara.

Pada mulanya, bukan cuma Komarudin yang membudidayakan cacing tanah merah di Desa Pangalengan, Kabupaten Bandung. Namun, rekan-rekan Komarudin yang turut membiakkan cacing menyerah dan berhenti. Sedangkan Komarudin terus berjuang mengembangbiakkan cacing tanah merah hingga akhirnya menghasilkan laba. “Saya lihat bahwa dari cacing tanah itu banyak sekali yang dihasilkan,” ungkap Komarudin di Bandung, baru-baru ini.

Kandungan protein yang tinggi membuat cacing tanah cocok untuk menggemburkan tanah. Selain itu, cacing juga dapat dijadikan bahan pembuatan obat, kosmetik, pelet ikan, dan lain sebagainya. Selama 12 tahun perjalanan usahanya, Komarudin juga mencoba mengembangbiakkan cacing jenis lain seperti tiger, cacing belang, cacing biru, dan cacing Afrika.

Untuk memulai budidaya cacing tanah, Komarudin menjelaskan, yang diperlukan adalah bibit cacing. Kemudian, sediakan media tumbuh yang cocok dan makanan yang berlimpah. Bentuk media tempat hidup cacing adalah kotoran sapi yang didiamkan selama dua pekan. “Untuk makanannya dari kotoran sapi yang baru,” papar alumnus Fakultas Teknik Universitas Jenderal Ahmad Yani, Bandung, ini.

Pembibitan cacing tanah merah dimulai dari memasukkan induk cacing ke dalam media. Setelah dua pekan, induk cacing akan bertelur. Lantas, pisahkan induk cacing dari telur-telurnya. “Si telur ini kita kasih makan hingga bisa menetas dan dewasa,” ucap Komarudin. Setelah mencapai usia dewasa, cacing tanah merah lokal bisa dijual seharga Rp 50 ribu per kilogram.

Keberhasilan usaha yang dirintis Komarudin mengundang minat pegawai pertanian asal Malaysia bernama, Wan Safawi bin Wan Sulong. Wan Safawi yakin masa depan budi daya cacing tanah merah juga cerah bila diterapkan di negerinya. “Saya nampak masa depan cacing ini di Malaysia sama dengan di Indonesia,” kata Wan Safawi.(ZAQ/LUC)

Jumat, 01 Februari 2008

BELUT

Belut, banyak sekali kita dapat di negara kita ini, saya adalah penjual belut hasil tangkapan alam, belut yang saya tampung adalah belut dari daerah jawa dan luar jawa, belut dari dua daerah ini sekilas sama, tapi kalau diperhatikan ada beberapa perbedaan, belut dari jawa saya sebut belut sawah karena didapat dari sawah, belut sawah umumnya lebih pendek dan kecil dan pertumbuhannya lambat serta makin sulit didapat, sedangkan belut dari daerah luar jawa saya sebut belut rawa karena diambil dari rawa, belut rawa berukuran lebih panjang dan besar-besar, daya tahannya juga cukup lama dibanding belut sawah. ini karena belut sawah diambil dengan cara distum sedangkan belut rawa diambil memakai bubu.

Karena semakin sulit saya dapat belut sawah, maka sayapun mencoba beternak belut, dengan mencoba teori yang saya dapat dari buku-buku dan pelatihan yang saya ikuti, alhasil dalam satu tahun pertama saya mengalami kegagalan, tapi karena saya sangat perlu akan pasokan belut, kegagalan itu tidak membuat saya putus asa, saya terus berusaha untuk ternak belut, dengan meninggalkan semua teori yang saya dapat, saya mencoba ternak belut lagi dengan tata cara yang sangat berbeda dengan yang lain, bahkan tidak ada yang sama dengan cara saya beternak belut.